SiiiPH!

Google

Ontologi Sastra Hedonisme


Mengenai ontologi sastra hedonis itu sendiri, saya memang tidak menjelaskan secara sistematis. Keberadaan sastra hedonis itu sendiri menurut saya adalah gambaran sebuah teks sastra yang pada dasarnya membidik dunia hedonis. Hedonis secara harfiah memang mengacu pada manusia yang mengakui bahwa tujuan hidup adalah mencari kenikmatan. Bila dibenturkan dengan karya sastra, hedonis itu mengacu pada dunia yang memiliki warna senada dengan konsep hedonis itu sendiri. Hal itu dapat dirujuk dalam karya sastra yang sering menampilkan seperti dunia pelajar yang penuh dengan warna-warni kenikmatan dunia. Pelajar digambarkan sebagai manusia-manusia yang paling terkini dalam hal life style.

Munculnya sastra hedonis itu sendiri menurut saya merupakan pengaruh dari perputaran life style yang begitu cepat akibat strategi kapitalis. Pengaruh budaya yang dibentuk kapitalis inilah yang nantinya membentuk warna tersendiri karya sastra hedonis. Pembacaan saya terhadap karya sastra yang saya katakan sebagai sastra hedonis tersebut secara tidak langsung menemukan titik-sambung yang menghubungkan antara gaya hidup yang digambarkan dalam sastra hedonis dengan produk-produk budaya kapitalis.

Mengenai postrukturalis yang menurut Anda tidak mengurusi hal itu, hal itu dapat diterima. Akan tetapi, pembacaan yang menganggap bahwa apa yang disuguhkan dalam teks sastra hanyalah kebetulan semata dan bersifat netral tanpa ada ruh yang lain di dalamnya juga sangat disayangkan kalau dibiarkan apa adanya. Saat teks sastra dipandang sebagai penggambaran dunia begitu saja, saat itulah pembacaan karya sastra hanya dalam permukaannya semata. Inilah menurut saya tentang pandangan Heidegger bahwa ada kedalaman dalam sebuah permukaan. Ada garis-garis ruh dalam sebuah teks yang saling menghubungkan antara yang gamblang dan yang terselubung.

Saya memang tidak mendalami betul mengenai pemikiran Deleuze dan Guattari. Yang sedikit saya tahu bahwa kedua pemikir tersebut seperti dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kedua pimikir tersebut yang saya tahu juga dipengaruhi oleh Freud, Lacan, Marx, dan pada dasarnya teori yang disuguhkan mengenai hasrat yang konsepnya diambil dari pemikiran Nietzsche. Dari teori hasrat Deleuze dan Guattari, ada sedikit pijaran hubungan antara manusia dengan kemampuan dirinya untuk mengendalikan desire. Saya tidak begitu mampu menguraikan pemikiran keduanya terlalu dalam. Yang pasti dalam diri manusia tersimpan apa yang dinamakan mesin hasrat (desiring machine). Oleh sebab itu, ada skizo yang menyebabkan manusia tidak pernah menetap dalam keadaan. Hasrat dalam hal ini bersifat revolusioner. Kandungan hasrat skizofrenik pada dasarnya merupakan pembebasan diri dari sebuah tatanan. Menurut Deleuze dan Guattari, kaptalisme pada dasarnya ingin menjinakkan hasrat tersebut. Sedangkan Dick Hebdige mengemukakan bahwa ”...ada konsumen skizofrenik yang terdisintegrasi ke dalam rangkaian kesesatan-kesesatan (instant) yang tak mampu mereka cerna, yang terperangkap ke dalam keberadaan di mana-mana dan seketika citraan dan informasi yang dikomodifikasi, dan hidup selama dan hidup selamanya di dalam chronos (ini-lalu-ini-lalu-ini-lalu-), tanpa pernah mampu menemukan jalan menuju tempat suci kairos (kehidupan siklus, mistis, dan bermakna)”. Saat itu, hasrat mulai tenggelam dalam budaya kapitalis tersebut. Ketika manusia tenggelam dalam budaya tersebut, mereka akan mengeluarkan apa pun yang dimilikinya untuk menukarkan dengan ekstasi-ekstasi yang saya katakan sebagai hedonis tersebut. Itu yang saya ketahui dari kedua pemikir tersebut.
Manusia Minimalis dan Pandangan Heidegger tentang Misteri Keseharian

Dalam pembacaan-ulang, justru klaim-klaim andalah yang mesti dipertanyakan: Benarkah Kapitalisme menjadi pemicu adanya budaya yang menuhankan kecepatan dan percepatan? Benarkah mall sekarang tidak lagi menjadi pusat perjual-belian tetapi lebih mengarah pada perputaran life style? Benarkah manusia tidak mampu mengontrol dirinya melainkan telah dikontrol televisi? Benarkah dunia virtual justru dijadikan kebenaran yang diyakini manusia? Benarkah manusia telah kehilangan kesadarannya dan menjadi manusia konsumer? Siapakah manusia minimalis itu dan dimanakah letak mereka jika dibanding anda, misalnya?
Dalam Antara Minimalisme dan Pluralisme: Manusia Indonesia dalam Serangan Posmodernisme Yasraf Amir Piliang membagi dua jenis manusia posmodern, yakni posmodern minimalis dan posmodern pluralis. Manusia posmodern minimalis memiliki ciri sebagai manusia ironi, manusia skozofrenik, dan manusia fatalis. Posmodern minimalis yaitu manusia yang merayakan prinsip dekonstruksi radikal, yang menolak setiap bentuk kategorisasi, demi membela relativisme radikal. Posmodern pluralis lebih menghargai kembali kejamakan dari golongan mengangkat yang dulu dimarginalkan oleh narasi besar.

Mengenai larutnya manusia dalam layar televisi atau dunia virtual sebagai kebenaran yang diakui, pada dasarnya hal itu memang tidak selamanya. Saya tidak bermaksud menggeneralisasikan sebuah realita. Akan tetapi, ini sebuah kondisi di mana manusia mulai berpaling dalam dunianya menuju dunia yang disajikan oleh televisi dan virtual, begitu juga mall tidak berarti total lenyap sebagai pusat perjual-belian. Yang perlu diperhatikan ialah mulai adanya nuansa pergeseran tersebut. Setiap pergeseran tidak harus diartikan perpindahan secara mutlak.

Konsep manusia yang mulai larut dari sesuatu di luar dirinya pernah juga disinggung oleh Heidegger dalan Sein und Zeit mengenai tenggelamnya manusia dalam keseharian. Ketika manusia mulai tenggelam dalam keseharian, manusia tidak mengalami keotentikan dalam dirinya. Eksistensi manusia seperti kondisi saat berenang. Saat muncul dari permukaan air, kesadaran akan dirinya mulai dimiliki, akan tetapi ketika tenggelam dalam permukaan air manusia mulai tidak sadar akan kehidupannya.
Dalam memandang percepatan dan kecepatan ada sekelebat keberadaan waktu yang disinggung. Kapitalis pada dasarnya menjadikan waktu sebagai bahan eksploitasi dan manipulasi.

Di manakah letak manusia minimalis bila dibandingkan dengan saya? Pertanyaan ini sangat menarik. Manusia minimalis bisa saja di dekat saya, dan juga dalam diri saya sendiri, dan juga manusia lainnya. Selama hasrat yang ada dalam diri manusia tidak lagi dapat dikontrolnya.
Menghargai atau Menghendaki?

Saya bukan manusia yang mengagung-agungkan modernisme maupun posmodernisme. Kadang saya juga menggunakan ”produk” posmodern untuk memecahkan permasalahan. Namun, kadang saya menjumpai permasalahan yang justru dimunculkan oleh posmodern itu sendiri. Jika, merujuk pada pendapat postrukturalis, Anda tidak akan pernah dapat menemukan gambaran mengenai ”menghendaki perbedaan”. Tetapi, bila Anda mampu menangkap spiritualitas yang terjadi sesungguhnya, justru postrukturalis menghendaki perbedaan di balik keinginan untuk menghargai perbedaan. Seperti halnya, ada sebuah kebenaran yang telah diakui kemapanannya. Dalam pandangan tersebut, kebenaran perlu dipertanyakan kembali. Ketika mengadakan pembacaan ulang, di situlah keinginan untuk menghadirkan sebuah perbedaan mulai muncul. Ingatkah Anda tentang buku Agus Mustofa mengenai Adam juga dilahirkan seperti halnya manusia yang merupakan hasil penafsiran ulang dari kitab suci Al-Quran? Pernahkan Anda membaca salah satu buku berpredikat International Best Seller yang mempertanyakan kembali tentang pengkhianatan Lucas terhadap Yesus? Menurut saya, memberikan batasan mengenai menghargai dan menghendaki perbedaan dalam pandangan postrukturalisme memang agak sulit. Oleh sebab itu, Yasraf sendiri tampaknya malu-malu untuk menyatakan bahwa posmodern saat ini lebih pada manimalis, sehingga untuk mengimbanginya ia mengeluarkan manusia posmodern pluralis.

Menurut saya, antara minimalis dan pluralis pada dasarnya dapat dikatakan saudara kandung. Mulanya posmodern lebih menghargai perbedaan, namun seiring terlalu ”nyaman” akan penghargaan tersebut, penghendakan perbedaan pun mulai muncul. Oleh sebab itu, tidak tertutup kemungkinan selama ada pengakuan tunggal atas kebenaran, dekonstruksi pun mulai mengambil bagian. Saat itu terjadi, yang ada bukan pluralis lagi, melainkan superpluralis yang pada dasarnya sama dengan minimalis.

Mas Audifax, saya mulai sadar ketika saya menggunakan legitimasi untuk membukan pertanyaan kepada Mas saat itu. Saya pun mulai terjebak nuansa perlawanan. Untuk mendekati nuansa perlawanan, Marxis akan ke luar sebagai gambaran teori yang mempengaruhi. Saya sangat tertarik ketika pemikiran saya mulai didekonstruksi. ”Pemikiran” saya adalah teks dan saya pun siap untuk menerima dekonstruksi tersebut.

Kadang saya mulai meragukan visi posmodern serta postrukturalis itu sendiri yang sangat berambisi mematikan identitas, walaupun hal itu tidak pernah diakui oleh postrukturalis itu sendiri. Pernyataan ini bukan berarti saya meletakkan visi modernisme sebagai kebenaran. Saya menolak adanya narasi besar yang mengekang pula.

Saya tertarik dengan pemikiran Yasraf Amir Piliang dan pemikiran biliau pun memengaruhi pemikiran saya, tapi bukan berarti saya akan menerima begitu saja tentang pemikiran beliau. Saya pun juga memberikan kritik terhadap pemikiran beliau mengenai politik tubuh, namun kritik tersebut terbatas pada kemampuan saya. Pemikiran beliau sebenarnya penuh dengan kekuatiran tentang budaya posmodern tersebut, namun tampaknya beliau sedikit ”malu-malu” untuk mengungkapkannya. Mungkinkah ada rasa sungkan di tengah-tengah ”gemerlapnya” pemikiran postrukturalis? Bukankah Nietzsche sendiri juga pernah berpensan bahwa ketika manusia menyanjung-sanjung pikiran tanpa adanya pemikiran-ulang, justru manusia tersebut tidak pernah berfilsafat.

Postrukturalis menurut saya tetap sebuah langkah pembacaan-ulang YANG TAK TERSELESAIKAN, dan begitu juga dengan kegelisahan saya yang tak terselesaikan.

0 Comments:

Post a Comment